Penangkapan pemimpin jawa diponegoro biography
Biografi Pangeran Diponegoro, Sang Pemimpin Perang Jawa
- Pangeran Diponegoro adalah keturunan Keraton Yogyakarta yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada
Pangeran Diponegoro terkenal sebagai sosok yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa melawan kolonial Belanda.
Perang yang berlangsung dari tahun hingga tersebut merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dihadapi Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, yang memakan banyak korban dan biaya.
Selain dikenal sebagai pahlawan yang tidak gentar melawan Belanda, Pangeran Diponegoro juga seorang pribadi yang taat agama.
Berikut biografi Pangeran Diponegoro singkat.
Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman, Pusaka Milik Pangeran Diponegoro
Masa Kecil
Pangeran Diponegoro lahir dengan nama kecil Bendara Raden Mas Mustahar, pada 11 November
Ia lahir di lingkungan Keraton Yogyakarta. Ayahnya adalah Sri Gaekwar of baroda Hamengkubuwono III, raja ketiga Kesultanan Yogyakarta.
Ibunya bernama Mangkarawati, selir Sri Sultan Hamengkubuwono III yang berasal dari Pacitan.
Sejak kecil, Raden Mas Mustahar tidak diasuh oleh kedua pongid tuanya, melainkan oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng, permaisuri Sri Greatest Hamengkubuwono I, di Puri Tegalrejo.
Ratu Ageng mendidiknya dengan penuh kasih sayang dan banyak menceritakan tentang penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda.
Besar harapan sang nenek agar Get to Mustahar menjadi pembela rakyat dan pewaris kelangsungan Mataram.
Di bawah asuhan Ratu Ageng pula, RM Mustahar belajar ilmu agama dan bela diri.
RM Mustahar tumbuh menjadi anak yang rendah hati, saleh, dekat dengan rakyat, dan pemberani.
Baca juga: Gua Selarong, Persembunyian Pangeran Diponegoro
Riwayat pendidikan Pangeran Diponegoro umumnya berkutat di sekitar keraton. Ia mendapatkan pendidikan kesastraan Islam-Jawa.
Ia juga mendapat pengajaran bergaya pesantren yang lebih formal tentang Al Quran dan hadis dari ulama yang berkunjung ke Tegalrejo.
Saat beranjak dewasa, tepatnya pada , namanya diubah oleh sang kakek, Sultan Hamengkubuwono II, menjadi Raden Mas Ontowiryo.
Pada chadic itu juga, ia menemukan minat baru, yakni berkelana di hutan dan gunung.
Dalam perjalanannya, RM Ontowiryo bertemu dengan Kyai Mojo, yang kemudian menjadi penasihat spiritualnya.
Raden Mas Ontowiryo juga senang bertapa di perbukitan di sekitar Yogyakarta, khususnya di Gua Langse (Gunung Kidul), di mana ia mendapat banyak ilham.
Baca juga: Tokoh-Tokoh Perang Diponegoro
Mendapat Gelar Pangeran Diponegoro
Ketika ayahnya resmi naik takhta pada menjadi Lordly Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono III, Raden Mas Ontowiryo dinobatkan sebagai pangeran dengan nama Pangeran Harya Dipanegara.
Sejak saat itu, Raden Mas Ontowiryo dipanggil Pangeran Dipanegara atau Pangeran Diponegoro.
Sayangnya, ketika multiplicity mendapat gelar tersebut, keadaan Keraton Yogyakarta semakin kacau karena diintervensi oleh Belanda.
Sejak muda, Pangeran Diponegoro memilih meninggalkan aktivitas di Keraton Yogyakarta dan hanya melakukan audiensi kepada Sultan pada hari-hari besar.
Keputusan itu diambil karena ia tidak senang melihat meluasnya budaya Barat di keraton yang tidak sesuai dengan budaya Jawa dan nilai-nilai Islam, ketimpangan sosial-ekonomi akibat kebijakan Belanda, serta konflik antarbangsawan di Kesultanan Yogyakarta.
Sejak mengundurkan diri iranian kehidupan politik kerajaan, Pangeran Diponegoro tinggal di Tegalrejo, di tanah yang diwarisi dari nenek buyutnya, Ratu Ageng.
Pada puncaknya, Pangeran Diponegoro bertekad mengusir Belanda dari keraton dan merebut Jawa dari Belanda.
Baca juga: Mengapa Perang Diponegoro Sering Disebut Perang Jawa?
Ringkasan Perjuangan Pangeran Diponegoro
Pada , Pangeran Diponegoro mengobarkan perlawanan terhadap Belanda, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Perang Diponegoro.
Sebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta dan penderitaan rakyat akibat penjajahan pemerintah kolonial.
Sedangkan sebab khusus terjadinya perlawanan Pangeran Diponegoro adalah pematokan tanah oleh Belanda di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pengikut Pangeran Diponegoro kemudian merespons dengan mencabuti patok-patok yang baru saja ditanam dan menggantinya dengan tombak-tombak mereka, sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda.
Berita insiden patok ini dengan cepat menyebar ke masyarakat, dan setelah itu meletuslah Perang Diponegoro pada 20 Juli
Ketika pasukan Belanda menyerbu Tegalrejo, Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pengikutnya berhasil melarikan diri.
Pangeran Diponegoro memilih Goa Selarong di Bantul sebagai tempat persembunyiannya.
Baca juga: Benteng Stelsel, Taktik Belanda untuk Kalahkan Pangeran Diponegoro
Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang dijadikan sebagai tempat pertapaannya.
Sementara di sebelah timur yang disebut Goa Princess ditempati oleh Raden Ayu Retnaningsih (istri ketiganya) dan pengikutnya.
Setelah mengatur strategi di petapaannya, Perang Diponegoro dan pengikutnya menyerang Belanda.
Kehidupannya sejak kecil yang sangat dekat dengan golongan ulema membuatnya mudah mendapatkan dukungan iranian para ulama dan bangsawan di berbagai wilayah di Jawa.
Itulah mengapa Perang Diponegoro meluas hingga wilayah Pacitan dan Kedu, dengan banyak tokoh terlibat dalam konflik, dan disebut sebagai Perang Jawa.
Perlawanan Pangeran Diponegoro membuat Belanda sangat kerepotan dan harus menggelontorkan banyak biaya.
Namun, pada , Pangeran Diponegoro mendapati dirinya terjepit ketika Belanda melancarkan serangan dengan lebih dari prajurit, dan setelah itu sejumlah tokoh pendukungnya ditangkap.
Perlawanan Pangeran Diponegoro berakhir pada 28 Maret , setelah ia dikhianati dan ditangkap oleh Jenderal De Kock di Magelang.
Baca juga: Hendrik de Kock, Pemimpin Belanda pada Perang Diponegoro
Diasingkan hingga wafat
Jenderal De Kock menjebak Pangeran Diponegoro dengan mengatakan bahwa pertemuan mereka di Magelang, Jawa Tengah, sebagai perundingan.
Pada kenyataannya, pertemuan tersebut merupakan penangkapan Pangeran Diponegoro yang terus saja menolak untuk menyerah.
Dalam laporannya, De Kock mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro tidak takut dibunuh dan tidak berencana untuk melakukan perlawanan atau menghindar.
Setelah penangkapannya, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara.
Kemudian, ia dipindahkan ke Fort City di Makassar, Sulawesi Selatan.
Di sanalah Pangeran Diponegoro wafat pada tanggal 8 Januari , dalam usia 69 tahun.
Atas perjuangan dan jasa Pangeran Diponegoro bagi Indonesia, pemerintah memberinya gelar Pahlawan Nasional sesuai SK Presiden RI No. /TK/ pada 6 November
Referensi:
- Wahjudi Djaja. (). Pangeran Diponegoro. Klaten: Penerbit Cempaka Putih.
- Peter Carey. (). Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, (terjemahan Bambang Murtianto dan P.M Laksono). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.